- / / : 081284826829

Fenomena Longsor dan Pengelolaan Lingkungan


Oleh: ARDA DINATA
Email: arda.dinata@gmail.com

ADA beberapa permasalahan lingkungan yang perlu kita kedepankan, karena banyak nyawa manusia yang terancam olehnya. Tepatnya, beberapa daerah di Jawa Barat (Jabar) saat ini telah terjadi musibah banjir dan longsor, diantaranya terjadi di Kuningan, Cicalengka, dan Garut. Berkait dengan yang terjadi di Garut, seperti diberitakan Republika, 30/01/03, musibah longsor dan banjir bandang menerjang dua desa di Kecamatan Kadungora, Kabupaten Garut, Jabar, Selasa (28/1) malam. Akibatnya 18 orang meninggal, 10 dinyatakan hilang, dan puluhan orang luka-luka. Sebanyak 121 rumah hancur, dan ratusan lainnya terancam nasib serupa.

Kalau kita amati, sebagian besar daerah rawan longsor itu berada di lokasi yang memiliki tekstur tanah terjal dan bergunung. Ada wilayah yang memang benar-benar memiliki lapisan tanah mudah sekali terjadi longsor apabila terkena rembesan air tanah dari air hujan. Di samping itu, juga dikarenakan hilangnya hutan. Akibatnya, air hujan yang meresap ke dalam tanah berkurang pula.

Kondisi hilangnya hutan ini, menyebabkan makin besarnya erosi dan tingginya kandungan lumpur dalam air sungai. Sehingga menyebabkan air sungai berwarna keruh, lumpur mengendap di hilir dan muara sungai, serta menjadikan aliran air terhambat. Dampaknya, kemungkinan terjadinya banjir makin besar. Apalagi bila didukung dengan curah hujan yang tinggi di daerah tersebut. Inilah sebenarnya penyebab yang mendasari terjadinya longsor dan banjir.


Kependudukan dan Lingkungan

Adanya masalah mendasar seperti banjir dan longsor, kecenderungan penyebabnya sebenarnya telah ada sejak dulu, namun sekarang sedang menuju ambang kritis. Menurut Ervin Laszlo (1999), ada dua penyebabnya, yakni: Pertama, pertumbuhan keluarga manusia di seluruh dunia dan penggunaan sumber daya fisik planet bumi serta sistem biologis pendukung kehidupan. Kedua, cepat habisnya banyak sumber fisik bumi dan kerusakan sistem biologis pendukung kehidupan.

Artinya, problematika kependudukan dan lingkungan ini akan terus bergema dalam tahun-tahun ke depan, apalagi bila dikaitakan dengan telah diberlakukannya otonomi daerah. Dalam hal ini, Prof. Dr. Otto Soemarwoto, mengungkapkan bahwa kerusakan lingkungan hidup di daerah akan makin parah dengan diterapkannya otonomi daerah. Karena penerapan Otda, sangat berkaitan erat dengan keinginan daerah meningkatkan pendapatan asli daerahnya (PAD).

Untuk itu, dua permasalahan tersebut hendaknya sejak awal harus disadari oleh setiap manusia. Karena sadar atau pun tidak sadar, yang jelas dua hal ini akan saling berinteraksi, “bercengkrama” membentuk sebuah formasi sebab akibat, yang ujung-ujungnya akan berimplikasi terhadap kelangsungan kehidupan (alam) manusia.

Kerusakan Lingkungan

Sering berulangnya bencana longsor di beberapa daerah ini, ternyata tidak membuat sebagian orang jera untuk membangun tempat tinggal di daerah rawan longsor. Penyebabnya dapat dipastikan karena mereka bukannya tidak mengetahui, kalau tinggal di lereng-lereng bukit/ gunung itu, resiko untuk tertimbun longsor sangat besar. Tetapi, faktor keterpaksaan itulah sebenarnya yang melatarbelakangi mereka untuk tetap tinggal di daerah rawan longsor. Keterpaksaan itu diantaranya menyangkut dengan keterbatasan kemampuan untuk memiliki lahan, dan terbatasnya ketersediaan lahan yang relatif aman bagi mereka.

Berdasarkan data Dinas Kehutanan, menyebutkan dari 784.119 ha hutan di Jabar, terdapat sekitar 213.443,23 ha lahan kritis. Daerah yang hutannya paling parah dilanda kerusakan adalah Sukabumi, Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis. Adanya lahan-lahan kritis ini umumnya disebabkan oleh kegiatan yang secara langsung menyebabkan rusaknya daya dukung tanah/lahan, antara lain pemanfaatan lereng bukit yang tidak sesuai dengan peruntukkannya (untuk lahan pertanian yang tidak menerapkan teknologi konservasi, bahkan tidak sedikit yang berubah fungsi menjadi areal pemukiman).

Implikasi kondisi itu, tentunya akan membawa dampak permasalahan tersendiri bagi lingkungan sekitarnya. Lebih-lebih, jika perilaku dan pola pikir masyarakat golongan ini tidak benar-benar sejalan dengan pola pembangunan berwawasan lingkungan. Dalam bahasa Ervin Laszlo, selaku Sekretaris Jenderal European Culture Impact Research Consortium (EUROCIRCON), masalah yang timbul akibat jumlah populasi manusia yang mempergunakan sumber alam, menjadi faktor utama penyebab kerusakan sumber daya alam dan sistem biologi (baca: bencana longsor dan banjir-Pen).

Lebih jauh, terjadinya banjir dan longsor ini, selain disebabkan oleh perilaku penduduk, juga didukung pula dengan kondisi lingkungan yang telah rusak akibat proses pembangunan yang ‘dipaksakan’ tanpa kontrol dan selektif meniru model-model pembangunan negara lain, yakni berupa germodernisasi pertanian, industrilisasi, dan urbanisasi. Ketiga unsur itu, dalam kaca mata Egger (1985) dapat membentuk kerusakan pada lingkungan.

Bentuk yang utama kerusakan lingkungan itu, antara lain: Pertama, hutan-hutan tropik menghilang berubah menjadi padang rumput, karena kenyataannya banyak hutan ditebangi, terkadang dibakar habis dan bukannya dimanfaatkan secara hati-hati. Bukti fenomena ini dapat dilihat dengan mudah setelah era reformasi bergulir, di mana banyak masyarakat yang dengan sesuka hatinya menjarah dan merusak habitat hutan.

Kedua, padang rumput (savana) yang lembab, kaya pepohonan berubah menjadi padang tandus luas (steppe) dan tanahnya mengalami erosi akibat membiarkan tanahnya menjadi gundul. Atau bisa juga akibat adanya pola tanam pertanian yang berada pada sepanjang daerah aliran sungai (terutama) bagian hulu yang kurang memperhatikan kelestarian tanahnya.

Ketiga, dengan terkikisnya lapisan atas tanah (erosi) yang tersapu masuk ke sungai-sungai semakin banyak, akibatnya keseimbangan air menjadi terganggu, dalam jangka panjang iklim menjadi kacau seperti yang terjadi pada tahun 1997-1998. Berkait dengan erosi tanah ini, maka akan berakibat banyaknya zat padatan yang terbawa air hujan menuju badan air (sungai).

Keempat, ‘tandon genetik’ menjadi berkurang karena ruang hidup flora dipersempit dan terbakukan. Sementara itu, budidaya satu jenis tanaman diperluas (areal pertanian baru). Kelima, adanya industrilisasi yang tidak berwawasan lingkungan akan berakibat pada terjadinya pencemaran air, udara, dan tanah.

Keenam, mobilisasi urbanisasi besar-besaran akan berdampak pada munculnya pemukiman-pemukiman kumuh, perusakan ekosistem dan keadaan sanitasi lingkungan yang rendah.

Konservasi Alam

Berkait dengan upaya pengendalian longsor, pemerintah hendaknya tidak hanya sebatas memikirkan penerangan tentang bahaya longsor jika penduduk tetap bermukim di lereng-lereng gunung/bukit, tapi sudah sepatutnya ada tindakan nyata mengupayakan perubahan perilaku masyarakat untuk dapat menyesuaikan dengan habitat alam sekitarnya.

Seandainya lokasi pemukiman penduduk tepat berada di daerah rawan longsor, di sini pemerintah harus secara bijaksana mengupayakan/ mencari lokasi terbaik, misalnya dengan memindahkan pemukiman mereka ke daerah yang relatif lebih aman. Jika, ternyata di daerah itu tidak ada lahan yang lebih aman, maka kemungkinannya dapat diantisipasi dengan mengamankan daerah itu dari bahaya longsor, diantaranya dengan melakukan konservasi sumber daya alam.

Secara demikian, jika saja daerah rawan longsor diteras dan di tanami tanaman keras dan dirawat melalui teknik konservasi sumber daya alam dengan memprioritaskan keseimbangan alam, maka kejadian longsor yang membikin manusia berduka, bisa dicegah atau barangkali lebih tepat bisa dikurangi. Sebab, bencana alam yang sering terjadi selama ini, faktor utamanya karena manusia sekarang sudah tidak lagi menjaga kelestarian dan keseimbangan alam. Padahal, tanpa kondisi lingkungan yang mendukung maka kehidupan manusia menjadi terancam. Wallahu’alam.***

Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia, http://www.miqra.blogspot.com.
WWW.ARDADINATA.COM